Tidak Semua Orang Cocok Dengan Strategi Besar, Kisah Ini Mengingatkan Pentingnya Menyesuaikan Tujuan Dengan Kemampuan Nyata adalah kalimat yang terus terngiang di kepala saya sejak bertemu Raka, seorang rekan kerja yang gemar memainkan gim strategi seperti Civilization dan Football Manager. Ia bukan orang yang malas, justru sebaliknya: telaten, rapi, dan selalu punya catatan. Namun, ia sering terjebak pada rencana besar yang terlihat brilian di awal, lalu runtuh ketika berhadapan dengan ritme hidup sehari-hari. Dari kisahnya, saya belajar bahwa strategi yang “hebat” di atas kertas tidak selalu cocok untuk semua orang.
1) Raka dan Rencana 90 Hari yang Terlalu Megah
Suatu Senin, Raka datang dengan papan kecil berisi target 90 hari: bangun pukul 05.00, membaca 50 halaman per hari, latihan beban 6 kali seminggu, belajar bahasa asing 2 jam, dan menulis 1.000 kata setiap malam. Ia menyebutnya “grand plan”, terinspirasi dari gaya manajemen proyek yang ia lihat di komunitas produktivitas. Saya melihat semangatnya nyata; ia bahkan sudah membagi target menjadi tabel warna-warni.
Minggu pertama berjalan cukup baik, lalu realitas masuk tanpa permisi. Ada lembur, keluarga sakit, dan dua hari berturut-turut ia kurang tidur. Raka mulai mengejar ketertinggalan dengan menambah jam belajar, tetapi tubuhnya menolak. Di akhir minggu kedua, ia berhenti total, bukan karena tidak mampu melakukan satu kebiasaan, melainkan karena beban gabungan dari semuanya terasa seperti batu besar yang didorong sendirian.
2) Ketika Strategi Besar Bertemu Kapasitas Nyata
Saya mengajak Raka mengobrol tanpa menghakimi. Pertanyaan pertama saya sederhana: “Dari semua target itu, mana yang paling penting dan paling realistis untuk kondisi kamu sekarang?” Ia terdiam lama, lalu mengaku bahwa ia meniru ritme orang lain yang kebetulan punya waktu dan energi berbeda. Ia juga mengira kegagalan dua hari berarti seluruh rencana gagal, sehingga ia memilih menyerah ketimbang menyesuaikan.
Di titik itu, saya teringat konsep yang sering dipakai pelatih kebugaran: kapasitas adalah batas aman yang bisa dijalani konsisten, bukan puncak kemampuan saat sedang sangat termotivasi. Strategi besar sering meminta kita bekerja pada puncak terus-menerus, padahal puncak tidak dirancang untuk dihuni setiap hari. Raka sebenarnya punya kemampuan, tetapi rencana yang ia pilih tidak menghormati batas yang nyata.
3) Pelajaran dari Gim: Menang Bukan Berarti Menguasai Semua Sekaligus
Menariknya, Raka justru memahami prinsip ini saat bermain gim. Di Civilization, ia tidak selalu mengejar semua kemenangan sekaligus; kadang ia fokus pada sains, kadang budaya, tergantung posisi awal dan sumber daya. Di Football Manager, ia tahu bahwa memaksa taktik kompleks pada skuad yang belum siap hanya akan membuat tim kebobolan. Namun, ketika menyusun target hidup, ia mengabaikan logika yang sama.
Saya meminta Raka memetakan “sumber daya” hidupnya seperti dalam gim: waktu luang, energi, dukungan keluarga, kondisi kesehatan, dan tekanan pekerjaan. Dari situ terlihat jelas bahwa jam 05.00 bukan masalah utama; masalahnya adalah ia tidur terlalu larut karena pekerjaan dan perjalanan. Jadi, menaikkan intensitas latihan dan jam belajar tanpa mengubah pola tidur sama saja seperti membangun kota besar tanpa pasokan makanan.
4) Mengubah Target Menjadi Sistem yang Bisa Dipertahankan
Kami menyusun ulang rencananya bukan dengan membuat target lebih “kecil” semata, melainkan lebih sesuai. Raka memilih satu prioritas utama selama 30 hari: kesehatan. Ia menetapkan latihan 3 kali seminggu selama 30–40 menit, ditambah jalan kaki singkat di hari lain jika sempat. Untuk membaca, ia menurunkan target menjadi 10–15 halaman sebelum tidur, bukan 50 halaman yang menuntut stamina mental besar.
Perubahan paling penting adalah cara menilai keberhasilan. Alih-alih menganggap satu hari bolong sebagai kegagalan total, ia memakai prinsip “kembali ke jalur pada kesempatan berikutnya”. Sistemnya juga dibuat tahan gangguan: jika lembur, ia punya versi latihan ringan; jika pulang terlambat, ia cukup melakukan peregangan dan membaca beberapa halaman. Raka mulai melihat bahwa konsistensi tidak lahir dari keras kepala, melainkan dari desain yang ramah terhadap kenyataan.
5) Mengukur Kemampuan Nyata: Data Kecil yang Jujur
Raka kemudian mencatat hal sederhana selama dua minggu: jam tidur, tingkat energi (skala 1–5), dan durasi fokus tanpa terdistraksi. Catatan itu terasa remeh, tetapi hasilnya membuka mata. Ia paling produktif pada malam tertentu dan sangat turun saat tidur kurang dari 6 jam. Ia juga menyadari bahwa target belajar 2 jam langsung membuatnya menunda, sementara 20 menit terasa mudah dimulai.
Dari data kecil itu, ia membuat keputusan yang lebih ilmiah ketimbang emosional. Ia memindahkan sesi belajar menjadi 25 menit setelah makan malam pada hari-hari tertentu, lalu menambah hanya jika energi memungkinkan. Ia juga mengurangi kebiasaan yang menggerus tidur. Bukan berarti hidupnya langsung rapi, tetapi kini ia memiliki kompas: kemampuan nyata yang terukur, bukan asumsi yang dibentuk oleh euforia.
6) Strategi Besar Tetap Berguna, Asal Tahu Kapan Dipakai
Beberapa bulan kemudian, Raka tidak berubah menjadi orang yang menjalani rutinitas sempurna. Namun, ia menjadi lebih lihai memilih momen. Saat ada proyek besar di kantor, ia tidak memaksakan target latihan tinggi; ia menurunkan intensitas dan menjaga tidur. Saat beban kerja menurun, barulah ia menaikkan porsi latihan atau belajar. Strategi besar ia simpan sebagai peta arah, bukan jadwal kaku yang harus dipatuhi apa pun yang terjadi.
Yang paling terasa adalah perubahan cara berpikirnya: ia berhenti mengagumi rencana besar hanya karena terlihat ambisius. Ia mulai menilai strategi dari satu hal: apakah bisa dijalankan oleh dirinya yang nyata, dengan waktu, energi, dan tanggung jawab yang nyata. Di situlah kisah Raka menjadi pengingat yang kuat—bahwa tujuan yang tepat bukan yang paling tinggi, melainkan yang paling selaras dengan kemampuan saat ini, lalu bertumbuh bertahap seiring kapasitas bertambah.

